foto: hardrock FM
Jujur saja, ungkapan We The Fest sebagai festivalnya para
hipster sejagat nusantara ini konyol sekali. Pasalnya ribuan orang dari berbagai
macam latar datang kesini tidak hanya untuk menikmati festival ala-ala
Coachella, tapi juga untuk memamerkan segala outfit yang melekat di tubuh
mereka demi kepentingan panjat sosial di instagram. Bahkan yang memamerkan
outfit seadanya pun banyak, seperti contohnya salah satu cewek yang hanya memakai dalaman bra plus outer jaket
yang sengaja dipakai dengan longgar untuk menonjolkan asetnya. Yang gini gini
nih, yang bisa mempertebal iman dan takwa saya kepada Tuhan di tengah-tengah
festival ini, sambil mensyukuri betapa indahnya ciptaanNya. Selain itu saya
yakin banyak diantara orang-orang ini yang sebenarnya bahkan tidak tahu siapa
saja musisi yang akan tampil disini, yang terpenting bisa pamer di
Instastorynya untuk membentuk image ‘remaja doyan party’ atau foto di payung
warna warni yang ikonik itu. Tapi ya balik lagi ke selera dan tujuan
masing-masing, toh mereka sudah bayar tiket yang harganya selangit untuk datang ke festival multi genre
besutan Ismaya ini.
Berdasarkan data yang dihimpun dari pihak penyelenggara,
tercatat ada sekitar 50 ribu orang yang hadir dalam tiga hari festival yang
diselenggarakan di Jiexpo Kemayoran ,menggantikan venue tetap sebelumnya yang berlokasi di Parkir
Timur Senayan. Sebuah jumlah yang tidak kecil untuk sebuah
festival musik di negara ini. Bapak Presiden Jokowi yang seorang metalhead pun
sudah mengendus hal ini dan menyempatkan diri untuk datang langsung ke acara di
hari pertama dengan setelan kaos merchandise resmi WTF dan celana panjang.
Sontak kehadiran orang nomor satu di Indonesia itu disambut dengan gegap
gempita oleh muda-mudi yang hadir. Entah misi beliau untuk merangkul suara
generasi milenial yang demografinya paling menjanjikan saat ini, atau sekadar
kunjungan santai saja. Yang jelas kedatangan Jokowi ini menjadi topik utama pemberitaan media massa mengalahkan deretan artis yang tampil di hari pertama.
foto: tribunnews.com
Siang menjelang senja merekah di Jakarta yang sangat terik
sabtu itu. Saya membeli tiket early entry 1 day pass pada hari kedua, dimana
bercokol nama-nama agung seperti Phoenix dan Lany.Sesampainya di lokasi, saya
langsung menonton Barasuara yang berkolaborasi dengan Scaller. Ini adalah
kesebelas kalinya saya menonton Barasuara dan rasanya masih sama seperti saat
saya pertama kali menonton mereka di Hai Day dua tahun lalu. Bagi Barasuara
sendiri, ini adalah penampilan keduanya di WTF setelah gelaran tahun kemarin . Seperti
biasa Barasuara dan Scaller bergantian membawakan lagu-lagu terbaiknya di
albumTaifun dan Senses. Sayangnya, ini adalah WTF bukan urbangigs, dimana act
lokal tidak begitu dihargai seperti di gigs-gigs gratisan itu. Penonton memang
lumayan banyak yang hadir, tapi sedikit sekali yang bergoyang mengikuti lagu
bertempo upbeat keduanya. Terlepas dari itu, mereka selalu menampilkan yang
terbaik seperti biasanya. One of the best local act in the last 3 years, obviously.
Selepas itu, di stage is Bananas yang menjadi satu-satunya
stage indoor,penampilan The Adams menunggu. Hadir dengan nostalgia generasi
pertengahan 2000-an, The Adams sukses menggerayangi penonton dengan penampilan
energiknya selama hampir satu jam. Sebagian besar penonton yang sebenarnya
hadir untuk menunggu penampilan selanjutnya yaitu Lany mengangguk-angguk
khidmat menikmati nomor bertempo cepat dari Ario cs. Setelah The Adams kelar, tibalah saatnya
headliner malam itu, Lany unjuk gigi. Saat masih setting panggung, crowd tak
henti-hentinya meneriakkan Lany, agar mereka cepat muncul ke atas panggung.
Sesuai dengan jadwal, Lany akhirnya muncul lalu membawakan lagu-lagu andalan dari
album debutnya This Is Lany seperti ‘ILYSB’ dan ‘Good Girl’ serta beberapa lagu
lama seperti ‘Where the Hell Are My Friends’ dan lain-lain. Paul, sang vokalis
yang punya sex appeal berlebih ini menjadi sasaran ‘tembak’ penonton cewek yang
memenuhi This Stage Is Bananas. Secara keseluruhan penampilan Paul cs sangat
rapi, dengan sound yang tertata dengan baik. Aksi panggung Paul juga lumayan
atraktif, beberapa kali dia beratraksi dengan keyboard dan gitarnya untuk
memukau penonton.
dokumentasi pribadi
Di stage sebelah, yaitu WTF Stage, giliran rapper bernama
Gnash yang tampil. Meskipun saya tidak hapal satupun lagu Gnash kecuali line ‘i
hate you, i love you, i hate that, i love you’ ini, saya memutuskan untuk
menonton Gnash sembari menunggu penampil berikutnya yaitu Phoenix. Pada awalnya
saya begitu sinis dengan penampilan Gnash, terutama tatanan rambutnya yang
menyerupai masteng-masteng tanah abang,
versi bule tentunya. Namun ternyata Gnash mampu menyuguhkan penampilan yang
keren, terutama stage presencenya yang memukau bahkan bagi saya yang awam musik
Gnash. Dia sangat komunikatif dengan penonton, sehingga semua penonton tanpa
terkecuali ikut menyanyikan baris demi baris lirik yang sebelumnya diajarkan
dulu oleh Gnash kepada penonton.
Selanjutnya ada penampilan yang paling saya tunggu, yaitu
Phoenix. Sekumpulan pria necis yang berkibar di era yang sama dengan kejayaan Daft Punk ini memulai setnya pukul 10 lewat 20 menit malam dengan lagu
pembuka di album teranyar mereka, Ti Amo.dilanjut dengan J-Boy dari album yang
sama. Pemilihan lagu yang tepat benar-benar berhasil membakar WTF stage dengan
goyangan seluruh penonton mengikuti tempo lagu yang bernuansa disko. Selain
setlist yang sempurna, yang membuat saya terkagum lagi adalah tata panggung
yang sudah diatur sedemikian rupa hingga tampak elok, persis seperti di yang
ditampilkan di videoklip J-Boy. Selain itu lighting yang tanpa cacat menjadi
sahabat tak terpisahkan bagi penampilan Thomas Mars yang sangat stabil dalam
menyanyikan nomor demi nomor, Thomas Hedlund yang tanpa ampun menghajar drumnya
dengan tempo luar biasa sepanjang konser, Christian Mazzalai yang memainkan
gitarnya dengan kalem tapi mematikan, serta member lainnya yang juga tak kalah
energik. Meskipun di awal-awal sound vokal dan bass terdengar balapan, secara
keseluruhan penampilan Phoenix jauh di atas kata memuaskan. Lagu-lagu lawas
seperti ‘If I Ever Feel Better’ dan ‘Entertainment’ tak lupa dibawakan beserta
beberapa lagu dari masterpiece mereka ‘Wolfgang Amadeus Phoenix’. Thomas Mars
yang terkagum dengan crowd yang luar biasa, beberapa kali bilang ‘you guys are
the best ever!’ atau ‘Terimakasih’ tentu saja dengan aksen Prancisnya yang
kental. Di encore, Mars memutuskan untuk berbaur dengan penonton diiringi musik
‘Ti Amo’. Meskipun tidak sampai stage dive, penonton dari depan sampai belakang
berkesempatan untuk melihat sangat dekat hingga bersentuhan dengan Mars yang
tentu saja dikawal security. Benar-benar penampilan yang luar biasa disuguhkan
Mars dkk pada malam minggu itu. Saya dan mungkin banyak penonton lain sepakat
Phoenix menjadi penampil terbaik di hari kedua WTF itu.
foto: cosmogirl.co.id
Setelah kericuhan Phoenix berakhir, tibalah giliran Cash
Cash untuk menjajal WTF dengan DJ setnya. Walaupun saya merasa janggal dengan
adanya DJ set karena membuat festival ini lebih terasa DWP dibanding WTF, tapi
saya tetap menikmati penampilan Cash Cash yang menggenjot semangat penonton di
tengah malam itu dengan drop-drop yang masif. Namun sayangnya baru setengah
penampilan Cash Cash saya sudah dipaksa pulang oleh teman tebengan saya yang sudah terlanjur bete karena hp-nya hilang di tengah-tengah set Daya. Huhu.
Jika diukur dari sisi We The Fest sebagai sebuah festival,
saya akui bahwa Ismaya sudah berhasil membuat WTF sebagai sebuah festival
seutuhnya. Berbagai suguhan penampilan selain musik juga digelar, lalu ada
stand-stand yang unik seperti GoChill yang menyediakan foto 3D yang sedang
ngehits, WTF Cinema Club yang menyuguhkan film-film indie bikinan anak negeri,
karaoke ria di stand Ruru Radio, Art Village dan stand lainnya. Namun ada satu
hal yang menyamakan semua stand di atas dengan segala keunikannya, yakni stand
untuk berfoto yang instagramable banget. Pas sekali untuk remaja milenial yang
haus akan feed yang penuh estetika. Akhir kata, We The Fest 2017 memuaskan!
0 komentar:
Post a Comment