netralnews.com
Kita beruntung kembali ke era dimana film-film produk anak
negeri mulai kembali diminati khalayak lokal. Setidaknya gembar gembor insan
perfilman diatas sana bahwa film-film Indonesia harus menjadi raja di negeri
sendiri kini menemukan titik cerah. Antrian panjang film lokal seringkali
bersandingan dengan film-film bintang lima Hollywood, mencerminkan kualitas
film kita yang tidak main-main. Lupakan dengan genre horor tete yang menjadi
kenangan pahit produk perfilman negeri, karena genre-genre lain seperti komedi,
drama, action bergantian menguasai singgasana bioskop tanah air.
Danur hadir tepat ketika genre horor justru lesu di tengah
kebangkitan perfilman Indonesia. Ketika era horor tete bisa dikatakan berakhir,
film horor beneran yang terbilang outstanding bisa dihitung dengan jari. Cukup
menyedihkan sebenarnya, karena genre horor sesungguhnya pernah menguasai
panggung perfilman Indonesia setidaknya dua kali, yaitu pada era kejayaan
Suzanna dan era kebangkitan di abad 21 melalui film Jelangkung. Jadi, apakah
Danur bisa menjadi jawaban atas lesunya genre horor di Indonesia belakangan
ini?
Film yang diadaptasi dari novel karangan Risa Saraswati ini
berkisah tentang anak perempuan bernama Risa(sang penulisnya sendiri) yang baru
saja berulang tahun yang kedelapan. Kedua orangtuanya bekerja dan jarang berada
di rumah untuk menemani Risa, karena
itulah Risa hanya memohon satu permintaan di hari ulang tahunnya kali ini,
yaitu teman. Ternyata permintaan itu dijawab dan akhirnya Risa punya ‘teman’
bermain di rumahnya, dan cerita pun bergulir hingga mengakibatkan masalah serius
bagi keluarga itu dan Risa sendiri yang mengalami kejadian menyeramkan semenjak
itu.
Cerita-cerita yang beredar di media tentang eksistensi
kelima hantu Belanda cilik tersebut yang begitu real, hingga mempengaruhi
keputusan pembuat film untuk mengubah plot cerita hingga poster yang diprotes
karena tidak memuat gambar mereka, menjadi bumbu tersendiri yang tentunya
membikin penasaran penonton. Dan juga berita bahwa di pemutaran premiere
sengaja disisakan lima bangku berbalutkan kain putih yang ‘katanya’ untuk Peter
cs. Entah itu beneran atau cuma akal-akalan marketing, tapi fakta bahwa Danur
diangkat dari kisah nyata berlatar di Bandung( dan sekolah saya dulu, karena
kelima hantu cilik itu sempat berteman dengan Nancy, legenda SMA saya) membuat
saya tetap menganggap Danur sangat sayang untuk dilewatkan.
bookmyshow.com
Film ini dibuka oleh intro yang sangat meyakinkan, ketika
Risa yang diperankan oleh Prilly Latuconsina bernyanyi dengan aura penuh menyayat
hati. Namun ternyata itu hanya pemanis awal. Paruh awal film terasa membosankan karena
perkenalan setiap karakter yang tidak maksimal. Seharusnya paruh awal film
digunakan sebaik-baiknya untuk character development yang baik, agar penonton
peduli dengan tiap tokoh, dengan latar kisah pilunya masing-masing. Namun hal
itu tidak terjadi. Risa sebagai sosok sentral di film ini, sebenarnya punya
potensi untuk menjadi pusat simpati penonton. Namun karena durasi yang sempit
dan juga harus berbagi ruang bercerita dengan kelima hantu cilik itu membuat
penceritaan terasa kurang baik.
Teror sesungguhnya justru dimulai ketika Risa dikisahkan
sudah beranjak dewasa. Mba Asih yang tidak lain merupakan tokoh antagonis
akhirnya diperkenalkan dengan cara yang elegan. Bahkan lebih baik dibandingkan
dengan kemunculan Peter cs. Shareefa Daanish sebagai pemeran Mba Asih tentu
saja menjadi faktor utama kenapa Mba Asih sebagai tokoh antagonis justru lebih
menonjol dibanding Prilly sebagai Risa. Atmosfer kengerian yang ditimbulkan
oleh mimik Mba Asih yang selalu tersenyum manja setiap kamera menyorot mukanya
memang tak ada tandingan. Persis seperti perannya sebagai penjagal bertangan
dingin di thriller Rumah Dara. Jika saja porsi bermain film horor dia lebih
ditingkatkan, komparasi dia dengan Suzanna bukanlah sebatas lelucon belaka.
lastthingisee.com
Paruh kedua ini menjadi inti film. Jumpscare bertebaran
dimana-mana. Namun kembali lagi sayang beribu sayang, eksekusi penampakan yang
kurang matang membuat beberapa scene yang seharusnya berpotensi menimbulkan
kengerian lebih malah jadinya datar. Di bagian klimaks film ini juga sebenarnya
bisa lebih moncer jika dieksekusi dengan gaya Insidious. Tapi lagi-lagi yang
terjadi adalah kekecewaan. Jika dibreakdown kebelakang, maka ada tiga hal yang
mengganggu saya sepanjang film ini berputar yaitu, character development yang
tidak maksimal sehingga ketiga hantu cilik yang seharusnya jadi karakter yang
lovable menjadi biasa saja bagi kalangan non pembaca novelnya. Kedua yaitu
durasi yang kurang sehingga ruang bercerita bagi para tokohnya jadi sempit, dan
pada akhirnya adegan-adegan seram yang menjadi inti film horor jadi
terburu-buru dan terkesan dipaksakan. Dan yang terakhir scoring di paruh awal
film yang terasa seperti film sinetron kacangan, itu benar-benar mengganggu
pendengaran saya. Hingga di suatu titik saya bertanya, beneran nih film horor
yang digembar gembor orang bakal seru abis ini? Untung saja paruh kedua berhasil
menyelamatkan film ini, setidaknya jika tolok ukurnya scoring.
Bertolak belakang dengan opini saya diatas, Danur meraih
atensi begitu luas. Di hari pertama saja Danur mencetak rekor sebagai film
horor Indonesia dengan penonton paling banyak di hari pertama. Jika ditanya,
apakah Danur pantas menjadi tonggak kebangkitan film horor Indonesia? Bisa
jadi. Mungkin produser-produser di sana tergugah untuk menelurkan film-film
horor yang digarap secara serius, dan kebangkitan film horor Indonesia untuk
yang ketiga kalinya akan segera terjadi. Semoga saja.
*di novel ada lima hantu cilik yang diceritakan, tapi di
film yang tampil hanya tiga.
0 komentar:
Post a Comment