Film bertemakan perang dengan bumbu kisah nyata yang pilu
didalamnya memang sudah umum diproduksi di ranah Hollywood. Termasuk untuk film
berjudul Hacksaw Ridge ini. Film besutan Mel Gibson ini berlatarkan Perang
Dunia 2 di kontinental Pasifik, antara Jepang melawan Sekutu. Jujur saja,
satu-satunya daya tarik bagi saya untuk menyaksikan film ini adalah
perkembangan akting dan wajah Andrew Garfield. Semenjak The Amazing Spiderman,
saya masih terkejut dengan wajah Andrew yang awet remaja padahal umurnya sudah
menginjak 30 tahun waktu itu. Termasuk pendalaman karakternya yang cenderung
kekanak-kanakan itu. Bagaimana jadinya dengan perannya yang serius nan sakral
di film heroik yang diangkat dari kisah nyata ini?
Hacksaw Ridge bercerita tentang kejadian seputar pertempuran
di pengujung Perang Dunia 2 di wilayah Pasifik. Pertempuran itu meledak di
pulau Okinawa, benteng terakhir Jepang di Pasifik dalam membendung gerakan
pasukan Sekutu yang terus menggulung bagai ombak samudra. Dengan semangat tak
takut mati, Jepang mengerahkan segenap tenaga untuk mempertahankan pulau itu
dari serangan ratusan ribu pasukan Sekutu. Di sisi lain, Sekutu yang punya
pasukan lebih besar dan armada lebih canggih dari Jepang pun tanpa lelah terus
menggempur pulau itu dengan segenap daya. Lokasi pertempuran paling sengit dan
berdarah-darah terletak di bukit Hacksaw dimana pasukan Sekutu yang
berkali-kali berusaha mendaki untuk merebut bukit itu, berkali-kali pula
dipukul mundur pasukan Jepang yang kesetanan. Ditengah hiruk pikuk pertempuran,
seorang paramedis muda dan ceking bernama Desmond Doss(Andrew Garfield) menerobos desingan peluru dan serpihan bom
untuk menyelamatkan tubuh teman-temannya yang terluka. Mampukah Desmond
menyelesaikan misinya ini, ataukah dia akan gagal bersama dengan
tentara-tentara yang gugur dalam perang itu?
screen rant
Film perang rata-rata memang mempunyai ending yang klise,
mudah ditebak. Pemeran utama selalu dicitrakan sebagai sosok heroik dengan
segala atribut romantismenya. Namun di film ini yang membuat saya
terkagum-kagum sampai sekarang adalah properti dan latar di seluruh film,
begitu pas dengan suasana perang yang sesungguhnya. Entah dari tone pakaian dan riasan setiap
pemainnya, vibe langit di tengah perang yang begitu kelam, dan hal-hal paling
kecil sekalipun seperti mobil, telepon, dan perlengkapan lain semuanya dipoles
persis seperti apa yang kita baca di buku-buku tentang perang dunia 2. Semua
hal itu membuat saya teralihkan dari fokus saya sebelum menonton film ini,
yaitu melihat progress ‘pendewasaan’ seorang Andrew Garfield. Dan, dia melakukannya dengan baik. Dia mampu
memerankan dengan baik seorang Desmond, bocah kurus yang menjadi korban bully
teman-temannya selama pelatihan wajib militer yan kemudian mampu keluar sebagai
sosok pahlawan yang tak diduga-diduga. Klise memang, tapi eksekusi yang mulus
serta sinematografi yang baik membuat kita melupakan sisi minor film ini. Penderitaan yang menjadi ironi dari semua peperangan di muka
bumi ini digambarkan dengan begitu syahdu, detail bagaimana baik pasukan Sekutu
dan pasukan Jepang yang sama-sama haus darah ingin segera menghabisi lawannya
sesegera mungkin, namun disisi lain mereka sama-sama menanggung penderitaan
yang tak berujung. Melihat teman disampingnya gugur ditembus peluru kasar
manusia-manusia polos yang dikendalikan ambisi dan ego tak berujung pemimpinnya
untuk menandingi kebesaran Tuhan di muka bumi. Semua digambarkan dengan begitu
baik dan menyentuh. Hubungan penuh kerikil tajam antara Desmond dan Dorothy pun
digulirkan dengan ringan di sepanjang film tanpa mengganggu kerangka utama
film. Racikan pas untuk sebuah film perang berkedok motivasi yang diangkat dari
kisah nyata ini. Selamat menyaksikan!
0 komentar:
Post a Comment