Seringkali dalam pergaulan kita secara tak sadar memilih teman berdasarkan kesamaan pada suatu selera, khususnya musik. Padahal sebagian besar dari kita sudah berkomitmen untuk tidak memilih-milih dalam berteman. Nah, berawal dari hipotesis bahwa selera musik bisa
mengkotak-kotakkan pergaulan di masyarakat, yang kemudian terbukti di realitas.
Saya mencoba menelusuri kanker sosial
yang bernama selera musik ini lewat contoh riil yang ada di masyarakat.
Bagi sebagian besar pecinta musik indie, gigs gratisan atau
berbudget rendah yang berisi line up band-band indie papan atas tetap setia menjadi andalan. Walaupun begitu,
kini band-band indie yang baru eksis belakangan sudah mulai menetapkan standar tinggi
untuk pertunjukan spesialnya. Mereka berani membuat konser berbudget tinggi di
venue-venue yang bernilai tinggi pula, dan kerennya tetap laku keras. Begitupun
dengan penjualan CD atau piringan hitam limited edition yang juga tetap laku
keras, mayoritas memang ditujukan untuk koleksi pribadi. Namun tetap saja, gap
antara pecinta musik independen dan pecinta musik sidestream masih cukup besar.
Tengok saja konser atau festival yang mengundang artis luar kini semakin
menjamur di tanah air. Setelah DWP, Java Rockin Land(sekarang entah kemana),
kini We The Fest menjadi festival musik terdepan tanah air, disamping
konser-konser tunggal tentunya. Dan jangan lupa konser-konser KPOP, dengan
massanya yang bejibun dan menjurus anarki itu. Bagi orang-orang yang sedang
berupaya menaiki tangga sosial dengan mencoba beralih dari panggung urban gigs
gratisan ke festival sebesar WTF, hal
ini amat sulit dilakukan. Kita-kita yang terbiasa dengan konser gratisan atau
paling banter seratus duaratus ribuan untuk menonton pertunjukan tunggal kini
dihadapkan dengan ongkos tiket sepuluh kali atau dua puluh kali lipat besarnya.
Dan sebagian dari orang-orang yang gagal menaiki tangga
sosial tersebut biasanya mencibir pelanggan-pelanggan festival besar itu. Yang
menjadi poin cibiran selalu klasik, seperti ‘ah fans karbitan lo’, ‘modal duit
gede doang tapi pengetahuan musik nol!’, dan sebagainya. Dan fenomena ini
memuncak tatkala pengumuman konser Tame Impala 29 April nanti yang kebetulan
harga tiketnya selangit, 750 ribu. Bagi yang ngakunya fans Tame Impala ‘sejati’
tentu saja terenyak melihat harga tiketnya. Dan yang menjadi sasaran tembak
adalah orang-orang yang mampu membeli tiket.Ah karbitan lu! Paling disana lu
taunya The Less I Know The Better! Ah lu mah palingan FTICTRFLWOGB(Fans Tame Impala
Cuma Tahu Reff Feels Like We Only Go Backwards)!'. Dan lain-lainnya. Yang menjadi
pertanyaan, kalo emang mereka ngaku fans sejati, kenapa mereka gak usaha lebih keras buat
beli tiketnya? Berarti level kefanatikan lo gak lebih tinggi dari orang-orang yang lo katain fans karbitan itu dong?
Bagian yang paling menyebalkan dari kesenjangan selera musik
adalah ketika seseorang yang baru mengenal musik kemudian baru mengeksplornya,
merasa paling tahu dan bangga dengan kelebihtahuannya akan musik. Ini banyak
terjadi, dan mereka memamerkannya dengan bangga di semua medsos , terutama Path(sempat
terjadi dengan diri saya, hehe). Seakan-akan itu merupakan raihan yang prestisius.
Padahal orang-orang kayak mereka tuh juga banyak loh. Gausah ngerasa mereka paling unik sendiri. Dan ingat konsep ilmu paling fundamental. Semakin kita mencari
tahu, semakin kita tahu bahwa kita tidak tahu apa-apa. Makanya orang yang
ilmunya banyak biasanya makin rendah hati. Sama dengan musik. Sok ngerasa
paling tahu, padahal mereka gak tahu apa-apa.
Mending kalo bisa main musik. Kalo sebatas pendengar mah, gausah banyak
tingkah deh.
Sering gak sih, ketemu sama orang yang dikit-dikit melihat
playlist di gadget kita, dan kalau dia suka dia bakal bilang, ‘wah selera musik
lo keren juga!’ dan kemudian obrol-obrol panjang soal musik. Lucu kalau sebenarnya
selera musik yang tinggi tuh bukan beneran selera kamu tinggi. Ya kebetulan
selera musik dia dan kamu sama. Coba kalau misalnya selera dia musik jazz
dan selera kamu pop punk, pasti dia bakal bilang, ‘Yah gaasik nih selera lo. Boys Like Girls gak ada enak-enaknya. Sampah.’ Karena sesungguhnya, tidak ada
seorang pun dalam sejarah yang menetapkan rumus standar selera musik yang
bagus seperti apa. Kecuali mungkin, seseorang yang dijuluki Polisi Skena.
Dan juga seringkali pertemanan diawali oleh selera musik.
Atau mungkin lebih tepatnya dibatasi. Terciptanya geng-geng dalam suatu
kelompok pecinta musik adalah sesuatu yang wajar. Saya pernah tergabung dalam
suatu grup bikinan OA yang isinya pecinta musik dari berbagai genre. Tujuannya
sih mulia, mencari referensi baru. Tapi ya sudah bisa ditebak dari judul
paragraf ini. Ujung-ujungnya grup itu tersekat oleh genre. Berhubung fans pop
punk, punk rock dan se punk paling banyak, akhirnya saya jadi cukup akrab
dengan musisi macam Pierce The Veil, Neck Deep, dll. Tapi ya gitu. Pengetahuan
saya tentang punk masih sangat minim sehingga saya tersisih dari pergaulan.
Begitulah singkatnya. Ingat, musik diciptakan untuk dinikmati seluruh umat manusia.
Bukan untuk dipamerkan. Selera musik yang ‘tinggi’ gak akan meningkatkan status
sosial lo.Selera orang berbeda-beda. Intinya, gausah alay.
0 komentar:
Post a Comment