Apa sih yang membuat film horor Thailand selalu stand-out
dari film-film horor lainnya? Kebanyakan orang menjawab ‘rasa’. Pembuat film
horor di sana selalu menyelipkan drama yang menyentuh dibalik jeritan-jeritan
ketakutan sepanjang film, yang membuat perasaan penonton bercampur aduk antara
ketakutan dan kesedihan. Saya pun setuju dengan hal itu. Dan saya ingin
menambahkan kecenderungan yang ada belakangan ini, bahwa horor Thailand pun
menambahkan pula humor menggelitik setelah bagian film yang mencekam, seakan-akan
memberi nafas bagi penonton untuk rehat sebelum ke adegan selanjutnya yang
lebih mencekam. Dari apa yang saya simpulkan dari film-film seperti 3AM dan
4BIA, kecenderungan tersebut memang ada. Lalu apa hubungannya dengan film yang
akan saya review ini?
Sudah genap 3 bulan semenjak Nott(Punjan) kehilangan
pacarnya, Pla(Focus Jirakul) yang tewas akibat kecelakaan motor. Nott merasa
amat sangat bersalah dan terbebani akibat kecelakaan itu, dan dia berusaha
dengan segala cara untuk menemui Pla dengan tujuan meminta maaf atas segala
kesalahannya. Nott pun beralih profesi
menjadi tukang urus mayat, dan diam-diam dia mengoleksi barang peninggalan
mayat-mayat tersebut dengan harapan agar mata batinnya terbuka dan dia bisa
melihat Pla.
Dengan formula dasar seram, sedih, dan kocak, Matthew
Chukiat Sakweerakul mampu menyulap The Eyes Diary menjadi film yang
menyenangkan, tentu saja dengan tidak meninggalkan predikat film horor yang
disandang. Yup, ketiga unsur tersebut mampu diracik dengan pas sehingga penonton
pun peduli dengan cerita yang ditawarkan film ini. Drama romansa antara Nott
dan Pla mengalir lancar diantara adegan-adegan yang mencekam khas horror
Thailand. Di film ini, unsur seram tidak perlu dipertanyakan lagi. Timing
penampakan, scoring yang mantap, dan pembangun suasana ala Hollywood menjadi andalan.
Pun dengan wujud hantu-hantunya yang khas film horor Indonesia. Di saat-saat tertentu, unsur kocak pun
ditambahkan, yang berpusat pada tokoh banci di sebuah geng tempat Nott bergaul,
yang anehnya jika saya teliti, kenapa tokoh banci harus selalu ada di setiap
geng-geng sekolah atau semacamnya? Lucu memang. Soal sinematografi pun, pada
umumnya film Thailand, mampu dikelola dengan baik.
Namun, seperti halnya wanita cantik, yang terkadang ada ‘goresannya’,
The Eyes Diary pun memiliki hal serupa. Dari awal sampai pertengahan, film ini
begitu mencekam parah, bahkan membuat saya berpikir untuk meninggalkan bioskop
sebelum kelar saking tidak kuatnya. Di satu bagian rumah dimana ada penampakan
paling menyeramkan di film ini, bahkan diulang sampai tiga kali, dengan orang
yang berbeda-beda dan timing penampakan yang berbeda pula, hingga membuat saya
stress. Hingga di pertengahan film, saya sempat berpikir ini merupakan film
horor Thailand paling memorable yang pernah saya tonton. Namun, penilaian itu
terburu-buru. Dari pertengahan menuju ke ending, porsi drama yang diberikan
terlalu banyak. Penonton terpaksa untuk peduli pada cerita, padahal kiranya
jauh lebih baik jika adegan-adegan mencekam itu ditampilkan secara konstan.
Porsi drama yang kebanyakan membuat penonton diberi istirahat terlalu
lama(tentu saja diluar komedinya), sehingga saat adegan-adegan mencekam itu
dimunculkan lagi, kadar seramnya menurun tajam. Filmnya memang sedih, hanya
saja timing untuk memunculkannya kurang tepat. Sehingga, ya begitulah adanya. Membuat
saya gagal untuk memberikan nilai sempurna bagi film ini. But it’s highly
recommended!
0 komentar:
Post a Comment