Proses berubah menuju kedewasaan adalah hal
yang lumrah bagi penulis. Perubahan itu bakal terasa kepada pembaca setia yang
memang dari awal mengikuti karya sang penulis. Reaksinya pasti bermacam-macam,
ada yang makin nge-fans pada sang penulis, tapi kebanyakan yang terjadi adalah
kecewa berat dan malah mencaci maki pada penulis. Biasanya ini terjadi kepada
penulis yang karya perdananya langsung meledak. Persis seperti yang terjadi di
ranah musik. Mungkin anda sudah tahu bahwa yang saya maksud adalah Arctic
Monkeys. Perubahan drastis yang dibuat mereka pada album AM malah membuat nama
mereka semakin harum. Apakah Raditya Dika termasuk dalam kategori sukses instan
pada karya perdana? Jelas. Kambing Jantan menggebrak dengan menawarkan sesuatu
yang beda; komedi kasar yang merupakan adaptasi langsung dari blognya Raditya
Dika. Tapi, apakah Koala Kumal-nya Raditya Dika bisa menjadi seperti AM-nya Arctic
Monkeys?
Raditya Dika, yang akrab disapa Dika, akhirnya
merilis buku ketujuhnya yang berjudul Koala Kumal. Ini merupakan hal yang
sangat ditunggu-tunggu oleh penggemarnya, karena sudah tiga tahun dia absen
menulis buku. Di tiga tahun terakhir, dia disibukkan oleh proyek serial populer
Malam Minggu Miko dan film dari adaptasi novel-novelnya, dimana dia berperan
sebagai penulis skenario, pemain, sekaligus sutradara.
Kenapa diberi judul Koala Kumal? Di bab
terakhir, Dika menjelaskan tentang patah hati. Tentang orang yang dulunya
saling memberi rasa nyaman, namun saat bertemu lagi perasaan itu sudah berubah
total. Persis seperti seekor koala yang bermigrasi dari hutan tempat
tinggalnya, namun saat kembali koala itu kebingungan karena hutan yang pernah
jadi rumahnya habis dibabat manusia. Karena itulah, buku ini diberi judul Koala
Kumal. Mayoritas isinya bercerita tentang patah hati, tentang rasa yang pernah
ada, dan tentang kenyamanan yang punah ditelan cinta yang baru.
Koala Kumal sedikit lebih tipis dibandingkan
buku sebelumnya, Manusia Setengah Salmon. Selain kembali menggunakan judul
binatang, kali ini pun Dika meneruskan konsep ‘Komedi Pakai Hati’ miliknya. Kedewasaan
dan kematangan pun semakin terlihat disini. Struktur bahasa pun semakin rapi.
Jelas saja, dengan usia yang sudah menginjak 30 tahun, Raditya Dika berangsur-angsur
menghilangkan kata-kata kasar dan tidak baku seperti yang biasa ditemukan di
buku-buku sebelumnya. Sebenarnya tidak penting membicarakan struktur bahasa
dalam sebuah buku komedi. Namun, perbedaan itu semakin jelas. Sangat berbeda
jauh dengan Kambing Jantan, buku pertama Dika yang sangat slengean dan
hancur-hancuran, dalam segi bahasa.
Namun, apakah dengan patah hati sebagai tema
utama dan kedewasaan membuat Koala Kumal tidak lucu lagi? Justru disitulah,
kepiawaian Dika bekerja. Lucu tidak harus dengan komedi kasar. Komedi pakai
hati pun bisa, begitulah prinsip Dika. Dan memang terbukti benar. Anda tidak
perlu khawatir dengan sense of comedy-nya Raditya Dika bakal meluntur seiring
dengan menuanya dia. Namun jangan harap komedi Koala Kumal bakal serusak dan
sekasar Kambing Jantan dan Babi Ngesot. Ini serius.
Kesimpulannya,
Koala Kumal sangat layak untuk dibeli dan dibaca. Banyak pelajaran dapat kita
petik dari Koala Kumal, terutama bagi yang baru saja patah hati. Patah hati
adalah proses menuju kedewasaan. Sering patah hati tidak berarti kita harus
putus asa mengejar cinta. Cinta butuh perjuangan. Perjuangan itu adalah
mempertahankan kenyamanan. Sekian.
0 komentar:
Post a Comment