Skenario 1:
“Ayo angkat tangan, siapa yang suka seni
lukis di kelas ini?!!” Dia berteriak di depan kelas. Lalu hampir seisi ruangan
mengangkat tangannya. Kecuali aku dan beberapa temanku, yang bilang saja-agak
bodoh. Dia bertanya kepada kami alasan mengapa kami tidak suka seni lukis.
Setelah teman-teman bodohku ceplas-ceplos melontarkan beberapa alasan paling
mainstream untuk bisa dikatakan, lalu tiba saatnya bagiku untuk menjawab
pertanyaan itu.
“Kemal, apa alasanmu tak suka seni lukis?”
Inilah saatnya.
“Soalnya, wajah ibu tuh terlalu indah untuk
bisa dilukiskan….” , Jawabku sambil terkekeh.
Skenario 2:
Berkas-berkas penting sudah aku bawa. Sambil menunggu aku dipanggil, aku memperhatikan wanita yang ada disudut ruangan kelas itu. Aku melihat semua gerak-geriknya, tingkah lakunya, dan perlakuannya terhadap semua orang tua murid. Entah kenapa aku penasaran dengan dia. Orang tuaku sendiri sedang dalam perjalanan ke luar kota, sehingga aku diharuskan mengurus semuanya sendiri. Dan saat dipanggil, ternyata aku kebagian kursi nomor 4, yang tidak lain penjaganya adalah wanita itu.
“Selamat pagi, nak.” Dia menyapa dahulu.
“Namanya siapa?”
“Kemal, bu. Saya ke sini sendiri soalnya
orangtua saya berhalangan hadir.”
Skenario 3
Sepercik air penyesalan membasahi hatiku.
Seiring waktu berjalan, percikan air itu semakin besar dan akhirnya menenggelamkanku
dalam jurang keputusasaan. Bayang-bayang
wajahnya terus memenuhi rongga dadaku. Dan itu sangat menyesakkan. Mengapa
harus secepat itu. Beruntung, masih ada orang yang peduli dengan keadaanku itu.
Dan, itu membuatku tersadar, bahwa tak semua pertanyaan harus dijawab.
Namanya Bu Rasti. Perawakannya tinggi.
Senyumannya yang manis menghiasi bingkai
wajahnya. Rambutnya yang hitam kelam dibiarkan tergerai hingga ke bahu. Dia
selalu memamakai kacamata frameless, yang agak longgar sehingga akan selalu
melorot kebawah setiap dia berbicara di depan kelas. Ah, begitu eloknya.
Kini, aku mulai membuka
lembaran baru buku harian ini. Setiap peristiwa penting aku catat dan aku simpan dalam buku harian ini, lengkap dengan skenarionya.
Saat scenario pertama berjalan, fase
perkenalan kami baru mencapai tahap awal. Jelas sekali bahwa seni lukis dan
gurunya adalah satu paket, yang menjijikkan menurutku, karena melukis memang
pekerjaan orang absurd. Kenapa kebanyakan pelukis harus berpenampilan urakan,
rambut acak-acakan, dan mulutnya berbau busuk?
Tapi saat aku memulai untuk bercanda dengan Bu Rasti, aku sadar aku
telah melakukan kesalahan yang sangat fatal.
Melompat ke scenario dua, mungkin melakukan
daftar ulang ke sekolah yang baru sendirian adalah ide yang buruk. Guru bisa
melakukan apa saja kepada muridnya tanpa bisa dibantah. Dan itulah yang terjadi
pada diriku. Bu Rasti meminta uang sumbangan senilai 20 juta, dan dibawah
ancaman tidak akan lulus pelajaran seni lukis, akhirnya aku menandatangani perjanjian itu.
Suatu
saat ketika aku diperintahkan untuk mengerjakan tugas menggambar abstrak itu,
aku bahagia sekali karena abstrak adalah satu-satunya cabang seni lukis, yang
setidaknya aku mampu untuk mengerjakannya.
Sepenuh hati aku kerjakan tugas itu. Dengan
mengenyampingkan segala pikiran anehku tentang
cara pembuatan abstrak-pelukisnya minum cat, lalu kencing catnya di atas
kanvas, dan jadilah lukisan abstrak yang indah- semuanya aku kerjakan dengan
wajar, tapi tentu saja dengan ide dan pikiran yang liar, yang mungkin jadi
tolok ukur utama seorang pelukis abstrak.
Dan hari pengumpulan pun tiba. Jarang
sekali aku mengalami hal seperti ini. Percaya diri yang berlebih, bercampur
rasa benci yang mendalam, karena Bu Rasti yang telah menguras dompet
orangtuaku, dan juga menjadikanku kambing congek di kelas, semenjak skenario
satu itu terjadi.
Aku secara tak sadar menuliskan semua yang
ada di kepalaku di balik kanvas tugasku. Yang aku tuliskan semuanya dalam
bahasa Inggris. Jelas aku tak menyadarinya, karena aku meminta temanku untuk
mengumpulkan tugas itu. Aku benci sekali untuk berhadapan langsung dengan Bu
Rasti, karena aku tahu persis apa yang akan dia ucapkan kediriku, “Mal, apakah
wajahmu terlalu buruk sehingga hampir-hampir hanya lukisan abstrak ini yang
bisa menggambarkanmu?” atau “Percuma kau bikin ini, karena kau hanya akan menghabiskan
jatah tinta spidol pabrik, tahu!!” dan lainnya.
Beberapa hari kemudian, aku pun menerima hasilnya. Dan yang
mengejutkan, aku mendapat skor 93, tertinggi di kelas. Aku iseng melihat
dibalik kertas yang berisi tulisan-tulisan hujatan dalam bahasa Inggris.
Ternyata bu Rasti membacanya. Dia menulis, “I know you are a gifted boy. You’re
so creative! Keep it!” dan “Kemal, maafkan ibu yang sudah menyakitimu. Ibu tahu
kamu bukan anak yang biasa, karena itulah ibu memperlakukanmu demikian.”, tepat
di sebelah tulisan, “Bring me back your 20 million, bi*ch!”.
Aku bengong membacanya.
Skenario 4:
Saat aku di ruang piket,
dia menuliskan surat izin masuk kelas untukku. Apa lagi kalau bukan karena
terlambat. Tak biasanya, kali ini dia
mengajak ngobrol, “Hey, Kemal, sini ibu mau ngomong sebentar.”
Aku pun mengiyakan. Dia
berbisik di telingaku, “Sebenarnya, ibu minggu depan sudah tidak akan disini
lagi, mal.” “Ibu mendapat undangan untuk mengajar di Singapura selama 2 tahun.
Kemal, yang rajin belajarnya ya. Ibu tahu kamu anak yang pintar.”
“Iya bu. Hati-hati ya
disana. Oh iya, terimakasih atas pujian ibu di balik kertas lukisan itu.”
“Oh. Tidak masalah. Ibu
selama ini telah salah menilaimu. Maafkan ibu ya.”
“Oh, iya bu. Terimakasih.”
Aku pun melengos pergi.
Aku baru saja menulis
skenario terakhirku di buku harian ini. Kenapa aku baru tulis sekarang? Karena,
jelas bahwa dia sudah pindah ke sekolah lain. Karena aku belum meminta maaf
sekali pun. Aku sulit membayangkan nasibnya di sana. Mungkin, Bu Rasti akan menemukan
‘aku’ lagi disana. ‘Aku-aku’ yang senantiasa membuat dia selalu ingat ketika
pertama kali mengajar disini. Mungkin.
Dan.
Beberapa minggu kemudian, tak terasa lukisan abstrak itu sudah dinilai, dan
dibagikan. Aku merasa bahagia, karena kali ini aku menggambar dengan cukup
bagus. Aku yakin bisa mendapat nilai bagus. Tapi apa yang terjadi? Nilaiku
hanya 60! Aku merobek kertas itu, dan meraih buku harianku. Aku baru sadar
bahwa aku telah menutup lembaran terakhir dari buku harianku. Aku telah
melewati skenario terakhir, dimana dia memang sudah tiada. Skenario yang hanya
ada diatas kertas, bukan di dunia nyata.
0 komentar:
Post a Comment