Setelah saya menghambur ke teman-teman saya yang ada di
belakang, saya pun berteriak histeris, ‘AAAAGGHHH!!!!’
‘Loh, Bang, bang?! Ada apa Bang???!!!!’ Si Giper merespons
dengan sama histerisnya.
Lalu saya menjawab dengan tololnya, ‘ADA ANJINGG DI DEPAN,
AWASS ADA ANJINGG!!!’
Untuk beberapa detik, dunia pun hening. Lalu,
Semuanya kompak berteriak, ‘Asukampret! DIKIRAIN RUMAHNYA
ROBOH ATO KEBANJIRAN!!! SIALAN LO!!!!’
‘Oh, kalian gak takut toh?? Ya udah, kalian di depan!!’ ,
saya menutupi kebodohan dengan mempersilakan mereka jalan duluan. Jenius.
Dan, malam ini kami tutup dengan mendengarkan Nightmare Side
Ardan FM.
Hari Ketiga
Hari ini dimulai dengan berkunjung ke rumah teman yang
berada tak jauh dari rumah saya. Rencananya sih, mau nimbrung keluarga mereka
yang akan berkebun pagi ini. Nah, setelah rencananya terealisasi, kami pun
bersama-sama ke kebun, bareng dengan bapak angkat yang sudah lengkap dengan
peralatan berkebunnya.
Setelah sampai, beliau pun langsung mengajarkan cara-cara
memotong rumput pakai arit yang baik. Beliau langsung menawarkan ke saya untuk
mempraktekkan cara-cara yang sudah beliau ajarkan. Karena saya berada paling
depan, maka saya pun langsung menawarkan untuk mempraktekkannya. Beliau setuju.
Pertama saya coba, wow ternyata gampang juga yah motong
rumput pakai arit. Lalu, saya pun menyerahkan segenggam rumput yang berhasil
saya tebas dengan hanya 1 kali percobaan saja.
‘Nih, pak. Gimana bagus gak?’ Saya pun memberikannya dengan penuh percaya
diri.
Beliau pun mulai melihat-lihat hasil potongan saya. Lalu,
seketika beliau pun menjerit, ‘WOOY, INI KENAPA POHON KACANG YANG DIPOTONG??!!
INI MAH BUKAN RUMPUT-RUMPUTAN, DEK!!!’
Shit happens, again.
‘Aduuh, dasar anak kecil. Ini kan nanemnya susah, wong
dipotong gitu aja. Dasar, dasar.’ Beliau menggerutu dan menunjukkan segenggam
rumput jahanamnya itu ke temannya.
Saya merasa sangat bersalah. Duh, maafin ya pak. Saya emang
salah, tapi bapak juga gak nunjukkin bedanya kacang sama rumput-rumputan biasa sih.
Ya udah, pak minta rekening banknya
dong. Ntar saya transfer deh kerugiannya. 5 juta dolar Zimbabwe ya? Hehehehe.
Nanti sore, kami anak-anak XI IPA 7 akan menantang kehebatan
bermain bola anak-anak kampung di lapangan bola (yaiyalah, masa di kandang
sapi?) di bukit desa.
Setelah menempuh perjalanan beberapa lama, kami pun sampai
di lokasi, yang basah kuyup diterpa hujan yang demikian derasnya sore itu.
Tapi, kami dan anak-anak desa itu tak peduli. Sebagian besar melucuti bajunya
dan topless, sementara saya sendiri tidak.
Hasilnya, lumayan. Saya mencetak 2 gol, tapi sialnya, betis kiri saya cedera parah ditebas sama si kampret Dillan. Sialnya lagi, saya musti diurut sama bapak angkat saya. Sakit parah!
Malam ini, saya habiskan dengan mengoleskan betis kiri yang cedera pakai counterpain. Hyah.
Hari keempat
Hari ini adalah hari penghabisan di desa Sukapadang ini. Segala hal sudah dipersiapkan. Dan, alhamdulillah kaki saya juga sudah mulai pulih. Berkat Allah, berkat urut bapak angkat saya, dan berkat counterpainnya Zora. Makasih Zora sama Bapak Angkat! (gak tau namanya siapa).
Malam ini, saya habiskan dengan mengoleskan betis kiri yang cedera pakai counterpain. Hyah.
Hari keempat
Hari ini adalah hari penghabisan di desa Sukapadang ini. Segala hal sudah dipersiapkan. Dan, alhamdulillah kaki saya juga sudah mulai pulih. Berkat Allah, berkat urut bapak angkat saya, dan berkat counterpainnya Zora. Makasih Zora sama Bapak Angkat! (gak tau namanya siapa).
Ada satu lagi hal lucu selama 3 hari 3 malam di desa ini. Tidak lain, itu adalah WC-nya. Primitif banget, hanya dengan sebuah lubang kecil multifungsi yang ada di pojoknya( multifungsi karena semua ritual berkamarmandi seperti pipis, b*rak, dan lain-lain muaranya disana). Yah, ibaratnya, lubang WC itu adalah kloaka, minus saluran reproduksi. Gak ngerti yah? Makanya sono belajar biologi. Hwehehehe.
Yap, itulah sekelumit pengalaman saya di desa yang keren itu. Post selanjutnya adalah ngelanjutin novel bersambung yang tertunda, Lagu yang terakhir. See ya later.
0 komentar:
Post a Comment