Gedung kantor pos itu, dipandang dari jauh terlihat biasa saja. Sama seperti gedung-gedung sebelahnya, kayak gedung SMPN 7 dan SD Taruna Bakti, bangunan tempat gue bersemayam dahulu. Jika dilihat dari dekat, memang agak suram sih. Jendela-jendela gelap yang menjadi khas bangunan jaman Belanda, tersusun rapi di seluruh sisi gedung. Pun dengan atapnya yang bergaya khas Eropa jadul itu. Dengan lapang parkir yang luas, plus berlantai tujuh, setidaknya gedung ini sangat nyaman untuk disinggahi. Khususnya bagi anak-anak sekolahan yang sedang mencari jati diri, kirim-kiriman surat ke kecengannya lewat kantor pos. Untungnya, gue nggak pernah mengalami hal sedemikian, yang tersisa hanyalah kenangan suram masa lalu yang ingin gue ceritakan disini.
sebelahnya SMPN 7.
Waktu itu, pas gue masih duduk di kelas 5, kami ditugaskan untuk mempraktekkan cara mengirim surat langsung ke Kantor Pos tersebut. Berbekal dua biji materai plus kertas surat khusus yang gue beli dari kantor pos, gue berjalan dengan mantap ke sana. Tak ada perasaan nggak enak pas perjalanan, palingan cuma pulpen yang ketinggalan di tas, serta boker yang sudah keluar setengah. Belakangan gue baru nyadar kalo dua hal itu ternyata menjadi masalah besar buat gue. Terang saja, gue langsung hijrah ke WC sesampainya di sana.
Singkat kata, akhirnya gue berhasil juga menuntaskan tugas menulis surat itu, yang menurut gue semudah mengepalkan tangan. Dengan bahasa standar orang-orang intelek seperti, ‘Apa kabar kucingnya? Nggak diare lagi kan? ’ atau ‘jangan lupa cebok habis pup lhooo...’ dan yang paling bergengsi adalah ‘kata Mama, orang kidal tetep harus pake tangan kiri ceboknya’.... dan kata penutup, ‘Ceumungudhh EaAa QaQa....’ Ganteng kan?
jangan percaya dengan tulisan kayak gini
Alkisah, gue berencana naik lantai sama temen gue, namanya Chandra. Orangnya pinter, pendiem, kepalanya miring, mirip DJ yang lagi salah urat. Makanya di sekolah dia sering diejek “Si Miring” atau “Si Stroke” karena miringnya itu. Selain itu, gue sering menemani dia kalo lagi ditindas seperti itu, berhubung gue emang nggak punya temen pas SD. Duo cupunista sejati.
Kembali ke Chandra. Dia mengajak gue untuk naik tangga ke lantai atas, selepas mengerjakan tugas itu. Gue sih mengiyakan saja, berhubung gue lagi bosen sendirian terus.
‘Bang, mau naik ke lantai ketujuh nggak?’, Chandra memulai pembicaraan.
‘Bang, mau naik ke lantai ketujuh nggak?’, Chandra memulai pembicaraan.
‘Nggak ah, maunya sih, naik ke langit ketujuh.’, Canda gue.
Aku serius Bang.....Di lantai atas bagus lho pemandangannya...’ ,Ajak Chandra.
‘Nggak juga ah...bagusan langit ketujuh kalee....’, Canda gue lagi, berharap dia ketawa.
Eh, nggak tahunya, dia malah ngambek, terus ninggalin gue sendirian.
‘Eh Chandra, tunggu!! Don’t leave me alone!!!’, seru gue dari bawah.
Gue takut kalo naik tangga sendirian. Akhirnya gue ikutin dia naik tangga yang super gelap.
Awalnya sih biasa aja. Tapi entah perasaan apa yang menyelimuti gue, pas udah nyampe lantai kedua, bulu kuduk gue mulai berdiri semua. Untung aja bukan bulu pantat gue yang berdiri, kalo berdiri bisa-bisa gue ambeien selama sebulan.
Hantu tersesat
‘Dra, kok perasaan aku nggak enak ya?’ Tanya gue.
‘Hah iya gitu? Aku mah biasa aja.’
Gue coba takut-takutin dia. Mungkin jika dia ketakutan, dia bakalan turun tangga, dan gue bisa terbebas dari siksaan gaib ini.
‘Dra, tahu nggak. Di lantai sini katanya angker lhoo....Hiiii.....’
‘Oh iya gitu? Asa biasa aja ah.’
‘Beneran nih. Aku pernah ke sini kok. Seyeemmm....’ Gue diem-diem mulai meninggalkan Chandra, gue turun tangga. Gue berharap dia jadi ketakutan dan ngebatalin petualangan mistis ini.
‘Tap....tap..tap’ Suara langkah kaki gue terdengar dari ujung tangga.
‘Eh Bang, kamu mau kemana?’
Gue sengaja nggak acuhkan omongan dia. Gue malah mempercepat langkah, dan akhirnya : lari.
‘Dadaaahhh Candra... Hihihihihii....’ Gue berlari sambil nakut-nakutin dia, ngarep dia bakal ikutan kabur sama gue juga.
Tapi...
Yang terjadi adalah, Chandra nggak takut. Dia malah nerusin naik tangga.
Kampret. Gue udah terlanjur lari. Kalo gue nerusin pelarian gue, gue harus berhadapan dengan lorong mistis yang masih terentang panjang di depan: SENDIRIAN.
Kalo gue berhenti, terus balik badan ikutin dia lagi, gue bakalan dicap sebagai pecundang sejati. Tapi, karena tangga itu terlalu sulit dilukiskan betapa menyeramkannya, jadi ujung-ujungnya gue balik lagi ke atas.
‘Lho...Bambang. Kenapa balik lagi?’ Tanya Chandra, keheranan.
‘Ee..ngg..ak. Ta..di a..ku ra..ra..sa a..da ya..yang ma..manggil-manggil a..a..ku da..dari ba..wah, ma..ka...nya a..aku tur..turun ben..bentar...’ jelas gue, merinding.
‘Ooohhh....Dikirain kamu takut turun sendirian.’
Gue menelan ludah.
........................................
Unfortunately, gue ikut dia menyusuri tangga yang tak bisa dilukiskan betapa gelapnya, dan juga begitu banyak barang yang berserakan, darah berceceran, dan tetek bertebaran(lho?). Pokoknya, suasananya sangat muram, apalagi pas udah nyampe lantai empat. Disana kelihatan jelas ruangan-ruangannya tidak terawat, meja-meja terguling tak diurus, dan kertas-kertas nggak jelas berserakan disana-sini. Suram maksimal.
Semakin atas gue melangkah, semakin banyak pula bulu kuduk gue yang berdiri. Nope, gue selalu teringat pada stigma masa kini, bahwa kalo ada dua orang lagi berduaan di tempat gelap, maka ada orang ketiganya, yaitu setan. Sumpah, gue takut setengah mati sepanjang perjalanan. Apalagi, auranya emang nggak enak banget di sana.
Untungnya, waktu gue udah hampir nyerah di ajang uji nyali ini, gue melihat ada secercah cahaya merekah di ujung pintu, di seberang tangga. Akhirnya, gue diam-diam meninggalkan dia, berjalan ke arah sumber cahaya tersebut, dan alhamdullilah, ternyata ada banyak teman gue di sana, mereka juga lagi seru-seruan ikut ajang uji nyali ini.
Akhirnya, gue lepas juga dari siksaan batin ini. Kini, gue berkumpul bersama temen-temen gue, salah satunya Arka, berjalan menjelajahi lantai 4. Saat gue berjalan, tiba-tiba gue melihat sosok anak kecil, sepertinya masih SD, lari-larian di salah satu ruangan di lantai sana. Sangat nggak masuk akal, anak kecil seperti dia berkeliaran sendirian di lantai yang seram seperti ini. Belum selesai perasaan nggak enak gue hilang, dia lari menjauh dari jangkauan mata gue. Karena gue penasaran, gue melangkahkan kaki masuk ke ruangan. Saat itu, gue masih berada di pintu. Namun...
Gue terkejut setengah mati. Ternyata dia menghilang!!! Padahal, gue tahu di sekitar tempat dimana dia menghilang, nggak ada pintu buat keluar. Lagian juga, nggak ada lubang jebakan disekitar lantai itu, yang mungkin membuat dia terperosok ke lantai bawah. Gue coba cek keberadaan dia dengan beberapa cara.
Pertama, gue cek langit-langit. Dia masih nggak ada. Nope, mungkin dia keturunan Spiderman, gue pikir. Tapi ternyata bukan.
Kedua, gue cek punggung gue di cermin-cermin yang bertebaran di lantai tersebut. Lagi-lagi nggak ada. By the way, gue masih trauma dengan film Shutter. Disitu diceritain bahwa hantu yang ada di cerita itu suka nangkring di punggung seseorang, dan baru kelihatan pas udah di cermin, atau pas difoto. Tapi ternyata dia bukan orang yang suka digendongin sopirnya.
Ketiga, GUE LARI SEKENCANG-KENCANGNYA!!!!!
Untungnya, kali ini temen-temen gue ketakutan juga dan ikut-ikutan kabur bersama gue. Kali ini, gue menuruni tangga darurat, yaitu tangga yang biasa digunakan bila ada bencana gempa, atau sejenisnya. Tapi kini gue gunakan untuk melarikan diri dari kejaran makhluk gaib. Sangat nggak elit.
Kami berlari menyusuri tangga-tangga, yang alhamdulillah terang untuk kali ini. Kami terlihat seperti para bencong lepas dari kandangnya, yang ketakutan dikejar-kejar Satpol PP.
Sangat menyedihkan.
Kami sampai di lantai 1, tapi kami tiba di tempat parkiran, yang lagi-lagi tempatnya menyeramkan. Gue terus memacu langkah kaki, hingga akhirnya ketemu salah satu guru yang paling kejam waktu SD, yaitu Bu Eti.
‘Cepetan!! Yang lain udah balik ke sekolah.’ Perintah Bu Eti.
‘Oh..Iya Bu. Maaf. Tadi kami ke atas dulu.’ Jawab gue.
‘Pantes. Kalian lari gara-gara ketakutan ya? Diatas kan emang banyak hantunya.’
Gue nggak menjawabnya, lalu meneruskan pelarian gue. Gue curiga, kenapa dia bisa tahu ya? Jangan-jangan, dia salah satu dari “mereka”. Gue makin takut.
Alhamdulillah. Gue sampe juga ke sekolah, dengan peluh masih bercucuran di wajah. Kelompok kecil gue pun begitu, yang tadi ikutan uji nyali sama gue. Lalu, kami banyak ditanya-tanya sama temen yang lain, kenapa jadi ngos-ngosan kayak gitu.
Akhirnya, Arka pun menceritakan apa yang terjadi tadi. Dia menceritakannya dengan penuh dramatis, seolah-olah kami habis ketemu dengan setan sebenarnya. Temen-temen pun banyak yang memperhatikan.
‘Tadi tuh, aku ketemu sama kuntilanak di tempat parkiran tadi.’, kata Arka.
‘HAH??!! Ketemu?? Maksud kamu, kamu udah janjian duluan sama kuntilanak itu?’
‘Enggak!! Maksud aku, aku ngeliat kuntilanak tadi.’, jelas Arka.
‘Wah??!!! Gimana bentuknya?? Ceritain dong!’ , tanya teman yang lain.
‘Jadi gini, bla...bla...bla...’, jelas Arka. Gue nggak sanggup menuliskan semuanya di sini. Takut nggak bisa tidur.
Dari tadi pembicaraan berlangsung, gue cuman mendengarkan saja apa yang terjadi. Padahal, gue punya pengalaman yang lebih menyeramkan lagi.
Lalu, tiba-tiba Chandra masuk dan merebut pembicaraan.
Lalu, tiba-tiba Chandra masuk dan merebut pembicaraan.
‘Ehm....aku tadi sampe lantai paling atas lho.' jelas dia.
Gue yang penasaran kenapa dia bisa sampe senekat itu, langsung nyerocos nanya,
'Wah, chandra. Kapan kau balik lagi? Aku kira kau udah diculik setan itu.'
Namun, dia tak menggubris. Dia ternyata mementingkan cewek-cewek yang sudah mengantri untuk berbagi pengalaman mistis dengan dia.
Gue yang penasaran kenapa dia bisa sampe senekat itu, langsung nyerocos nanya,
'Wah, chandra. Kapan kau balik lagi? Aku kira kau udah diculik setan itu.'
Namun, dia tak menggubris. Dia ternyata mementingkan cewek-cewek yang sudah mengantri untuk berbagi pengalaman mistis dengan dia.
‘Wah hebat Chandra! Aku aja baru lantai dua udah gak kuat.' puji salah satu cewek.
'Wah gilaaa!!!! Ngeliat sesuatu yang aneh gak di atas?' puji cewek yang lain.
'Ehm.....nggak tuh. Palingan cuma ada bayangan putih yang lewat.' jawab Chandra, dengan penuh percaya diri.
'Keren..keren. Kamu nggak papa kan?' tanya cewek lainnya.
'Nggak. Santai aja kali.' tambah Chandra.
'Wah gilaaa!!!! Ngeliat sesuatu yang aneh gak di atas?' puji cewek yang lain.
'Ehm.....nggak tuh. Palingan cuma ada bayangan putih yang lewat.' jawab Chandra, dengan penuh percaya diri.
'Keren..keren. Kamu nggak papa kan?' tanya cewek lainnya.
'Nggak. Santai aja kali.' tambah Chandra.
Anjrit. Gue dari tadi nggak kebagian pembicaraan. Akhirnya, gue coba merebut pusat perhatian, dengan memotong pembicaraan.
‘AKU!!! AKU tadi ngeliat hantu seyemm banget!! Badannya nggak ada. Terus tangannya yang tersisa cuma jari-jarinya doang. Terus, dari kakinya cuma tersisa lututnya saja. Yang paling parah adalah mukanya. Udah mukanya hancur, ada tititnya lagi...hii...serem banget..parah..!!!!’
Hening.
‘Bang...itu be..beneran...kamu lihat...?’ tanya Arka, dengan penuh keheranan.
‘Kalo kamu nggak percaya, liat aja sendiri..Hii....’ jawab gue, penuh semangat.
‘Gilaa...baru denger ada hantu kayak gitu..’ jawab salah satu temen.
‘Hii...hayo bubar ah. Perasaanku nggak enak nih.’
‘Iya..iya. Kayak ada yang lagi ngedengerin.’
Setelah berhasil menakut-nakuti semua yang ada disitu, akhirnya gue membuka kedok yang sebenarnya.
‘HUAHAHAHA....April Mop!!! Hahahaha...!!!! Kena Deh!!’ Padahal, gue tahu bulan ini bukan bulan April. Tapi gue ketawa sepuas-puasnya.
‘Astaga. Kalo kamu cerita yang nggak-nggak, nanti yang aslinya ngedatengin lho.’
‘Iya..iya. Nanti dia ngikutin kamu terus lho.’ bilang salah satu temen gue, penuh ketakutan.
Kampret. Gue lupa UU persetanan yang satu ini, yang bunyinya, “Jika kau menggambarkan hantu menurut cara pandangmu sendiri, maka dia akan bertransformasi mengubah wujudnya seperti yang kau katakan, dan akan mendatangimu.”
Gue buru-buru mengalihkan pembicaraan, dengan bilang, ‘Eh..Jambulnya Syahrini bagus yah..’
.............................................
0 komentar:
Post a Comment