Well, beberapa hari yang lalu diadakan peringatan Hari Guru, yang tanggalnya gue pun masih nggak ingat sampai sekarang. Gue sebagai pelajar acuh, seperti siswa pada umumnya, tentu tak pernah menganggap hari itu sebagai hari yang istimewa bagi gue. Tapi, ada sesuatu yang terselubung dibalik itu. Gue baru sadar, kalo Hari Guru kali ini adalah Hari Guru yang pertama gue rayain di sekolah terbaru gue : SMAN 3 BANDUNG.
Tentu saja, pas gue search di Google, SMAN 3 selalu menempati 10 besar SMA terbaik se-indonesia, bahkan ada yang peringkat kelima, disalah satu polling tertentu. Gue bangga banget, tentu saja. Tapi, rasa kebanggaan itu nggak sejalan dengan pikiran dan penggambaran gue mengenai guru-gurunya. Sampai-sampai, gue seringkali membandingkan antara guru-guru di SMA dengan guru di SMP gue terdahulu, SMP Taruna Bakti. Gue pun sering meledek temen-temen gue yang bersekolah di sekolah negeri, tentang keunggulan yang dimiliki guru-guru di SMP Tarbak.
Namun, pas gue merenung, ternyata gue emang salah besar. Sangat tak pantas gue sebagai siswa berkarakter, sesuai semboyan sekolah gue, bertindak seperti itu. Najis.
Akhirnya, sebuah kesempatan pun tiba, saat diadakan perlombaan bikin puisi tentang guru di sekolah. Gue ambil kesempatan, tuk membayar kesalahan-kesalahan gue sebelumnya. Walau gue nggak suka menjilat seseorang, tapi bikin puisi adalah sesuatu yang menarik bagi gue. Nih, hasilnya:
KAN KUTAKLUKKAN SELURUH DUNIA INI UNTUKMU, GURU.......
Lihatlah untaian cincin yang mendengungkan keperkasaan itu
Tak satupun, yang mampu membantahnya
Saksikanlah, guratan alis dan kehampaan wajahnya yang menggetarkan itu
Tak sedikitpun keluhan terlontar dari segala kerendahan hatinya
Lelah, gundah, segala penat, yang mengangguk-angguk miris
Menyaru kesukarannya yang mungkin sebenar-benarnya ujian hidup
Cahaya penghidupan selalu terpancar dari mukanya yang teduh
Begitulah, mengapa mereka tak pernah mengadu segala peluh
Teringat sesuatu, pun jika kau tetaplah seorang manusia biasa
Sungguh, ku sangat iri, kenapa jiwamu tak pernah merenguh
Meronta segala kemunafikan diri yang hina dina lagi sesak
Sesak! Aku sangat mengerti keadaan hidupmu
Mengapa, kau tak berhenti saja, atau carilah tumpuan lain
Buatlah hidupmu lebih menggelora dan menggairahkan
Dan buanglah segala kesulitanmu, aku tak rela kau begitu
Mungkinkah, ini semua takdir yang tak terbantahkan?
Perlukah, kau melakukan semua itu??
Sekali lagi, tak bosankah dengan semua yang telah lakukan selama ini?
Namun, aku baru teringat pesan ayahku,
“Tak mengapa, hidupmu miskin tak berarti”
“Tapi jika kau memberi manfaat bagi orang lain”
“Itu jauh lebih berarti bagimu.”
Aku duduk tercenung, dibawah guyuran air hujan
Membayangkan, apakah semua ‘kan berbalik menjadi seperti seonggok debu
Habis terbakar, sirnalah segala kehebatannya
Atau, apakah ini akan jadi serpihan kenangan yang menggantung’
Takkan terbayangkan, sungguh pahit
Pahit lagi getir, apakah yang akan ku perbuat bagimu?
Akankah ku hanya berteriak seperti ini,
“Cukupkah penderitaan ini bagimu?? Sekali lagi, cukupkah???”
Atau, mungkinkah aku akan mengangkat pedan dan perisai
Berjuang demi harkat dan martabatmu yang mulia?
Mungkin, tentu saja itu mungkin.
Dan, jika kutaklukkan dunia ini dengan segala pemberianmu selama ini
Aku janji, kan ku persembahkan dunia ini hanya untuk engkau,
Aku janji, wahai guruku...........
Nggak tau mau bilang apa, tapi yang jelas gue ngerasa puas banget bisa bikin puisi ini, walau harus mengorbankan tuk nggak belajar ulangan, akhirnya puisi ini bisa juga terselesaikan. Mirisnya, pas hari penilaian, gue nggak tahu harus ngumpulin kemana, jadinya puisi gue ini nggak bernilai artinya. Tapi, kalo puisi ini gue share, mungkin akan jauh lebih bermanfaat.. Well, it has a nice title, and I don’t mind if you copy and paste it, whatever you want.
Stay tune!
0 komentar:
Post a Comment